CHAPTER I
Tiap-tiap
paginya tak pernah sepi dengan alunan ayat-ayat suci al-Qur’an dari dalam
mulutnya tanpa lelah ia lagu kan, merdu suaranya, panjang nafas nya menghiruf
udara dan melepaskan nya sebagai syair-syair yang menggetarkan jiwa bagi yang
mendengarnya. Matahari bersinar terang membuatnya menghentikan rutinitas
mengajinya. Diakhirinya dengan membaca “Sadaqallah hul’azim”. Ditutupnya
Al-Qur’an dan menaruhnya diatas meja belajar. Handuk biru melilit dileher nya,
ia masuk kedalam kamar mandi. Dengan begitu, hari ini akan ia mulai dan jalani
sebaik mungkin. Afanin Huriyah Huwaida. Nama yang benar-benar pantas disandang
gadis yang baru saja masuk kamar mandi itu. Wajahnya benar cantik seperti
bidadari dari syurga Janatun naim . tutur bahasanya lembut bagaikan daun yang
jatuh tertiup angin. Sopan, bersahaja. Tak kalah sempurna dengan gadis didalam
kamar mandi, Almasah Basimah. Gadis yang sedang duduk manis dikursi ruang
makan. Kerudung putihnya menambah cantik wajah Alma. Umy dan Abi nya duduk
mendampingi. Makanan tertata rapi diatas meja bertaplak hijau muda itu. Tak
banyak makanan yang tersedia tapi cukup membuat orang menelan ludah melihat
menu makanan yang menggiurkan tersebut. “Alma, kakak mu belum selesai bersiap?”
“mungkin sebentar lagi umi …” Seorang gadis mengenakan kerudung putih yang sama
dengan Alma berjalan menuju ruang makan. Dia Afanin. Kelas sudah mulai ramai
ditambah lagi pengumuman akan ada nya murid baru pindahan dari sekolah ternama
yang terletak di Bandung. Para gadis-gadis sibuk membicarakan siapa murid
pindahan itu? Pria ataukah seorang gadis seperti mereka? Entah lah. Yang jelas,
keributan dikelas sama sekali tak mengganggu konsentrasi Alma dan Afanin untuk
menghapal rumus-rumus fisika yang akan diajarkan hari ini oleh guru fisika
mereka. Tak salahkan mencari tahu sesuatu sebelum diberitahu orang lain? Begitu
kata Afanin dan Alma jika ada orang yang bertanya perihal kerajinan mereka
menghapal rumus-rumus fisika yang bahkan belum diajarkan atau pun dijelaskan
oleh guru mereka. Pelajaran ke-1 dan 2 sudah berlalu dan berjalan dengan
lancar, mungkin hanya untuk pasangan kakak-beradik Afanin dan Alma saja. Tidak
untuk yang lain nya. Mereka lebih memikirkan murid baru yang sampai sekarang
tak muncul-muncul juga menambah rasa penasaran mereka. ‘’Alma, memang murid
baru itu sehebat apa? Sampai-sampai satu kelas ribut karenanya…” Afanin melirik
kearah Alma yang sibuk komat kamit tak jelas. Seketika Alma terkikik mendengar
ucapan Afanin dan membuat Afanin heran. ‘’Yang aku tahu, murid baru itu adalah
seorang pria tampan yang menjadi idola disekolahnya dulu…” “Tak salah aku
bertanya denganmu Alma, ternyata kau memang bisa menebak apa saja ya?” Ucap
Afanin mencoba menyinggung Alma, namun sebaliknya. Alma malah terlihat bangga
dengan ucapan sok tau nya itu. Percakapan Afanin dan Alma terhenti ketika
tiba-tiba saja Pak Anwar membawa masuk seorang siswa berseragam sama seperti
mereka berdua. Pria itu tampan, wajah nya manis ditambah lesung pipi dipipi
kirinya. Kelas hening sesaat, terpesona melihat pemandangan yang ada didepan
kelas. Kemudian ribut kembali dengan suara-suara cempreng milik gadis-gadis
yang mencoba mencari perhatian pada pria tampan didepan mereka. ‘’Nah,
anak-anak. Ini lah siswa baru yang bapak katakan kemarin. Ia akan bergabung
dikelas ini. bersahabatlah dengan nya.” Pak Anwar menepuk-nepuk pundak pria
tampan itu. ‘’Haii, saya Burhan Rais Rabbani. Kalian bisa memanggil saya Rais.
Terima kasih…” Pria itu tersenyum lembut mengakhiri perkenalannya. Gadis-gadis
dikelas berteriak histeris membuat Rais kebingungan. ‘’mereka memang seperti
itu, nanti juga pasti terbiasa…” Bisik pak Anwar pada Rais, Rais hanya
mengangguk ragu. Tak yakin bahwa situasi ini akan segera normal kembali. ‘’Nah,
Rais. Kamu boleh duduk disamping Afanin. dan Alma, Kamu bisa pindah duduk
disamping Zazkyra…” ‘’loh pah? Kenapa bukan Rais aja yang duduk disamping
saya?’’ Protes Zazkyra. “iya pak, saya juga gak mau pindah duduk sama si
Zazkyra yang centill itu…” Alma melirik sinis kearah Zazkyra. Afanin menyenggol
lengan Alma agar tidak membuat keributan dikelas. Sedangkan Zazkyra menahan
amarah nya karena takut dikeluarkan dari kelas lagi oleh pak Anwar. Akhirnya
keputusan pak Anwar sama sekali tidak bisa diganggu gugat. Rais duduk disamping
Afanin. Dan Alma harus rela duduk berdampingan dengan Zazkyra, musuh besarnya.
‘’Rais…’’ Rais mengulurkan tangan kearah Afanin, Afanin membalas juluran tangan
Rais. “Afanin Huriyah Huwaida, panggil Afanin saja…’’ Afanin berbicara lembut
diiringi dengan senyuman diwajahnya. Rais terpaku menatap wajah Afanin. Inilah
bidadari satu-satu nya yang ada di bumi. Pikir Rais. Jantung Rais berdebar
kencang beradu dengan suara riuh didalam kelas, Afanin benar-benar telah
membuatnya menahan nafas dan menyebut Asma Allah ketika melihat senyum makhluk
cantik seperti dirinya. Tapi, Afanin terlihat tak peduli seakan tak menyadari
pengaruh dirinya pada lelaki berwajah tampan nan manis dihadapannya. Tepat pada
pukul 2 siang, Bel pertanda pulang sekolah telah berbunyi nyaring menggema
disetiap sudut sekolah, membuat murid-murid berseru gembira. Menandakan mereka
akan dapat mengisi ulang kinerja otak mereka yang mulai panas karena dipakai
berpikir selama seharian. Sifat dasar anak sekolahan. Keluar kelas pun masih
saling dorong. Payah sekali. Ledek Afanin dalam hati. Alma, masih sibuk
menjejalkan buku pelajaran ke dalam ransel dengan cara tak beraturan. Sedangkan
kelas sudah mulai sepi, hanya tinggal ia seorang. Afanin telah lebih awal
keluar kelas. Setelah semua buku telah mengisi ransel milik Alma, tanpa
ba-bi-bu Alma bergegas berjalan keluar kelas, dan mencari sosok Afanin.
Terlihat Afanin tengah berdiri didepan gerbang sekolah sembari melirik arloji
yang melekat ditangan kirinya. “ Hehh!! Tega sekali meninggalkanku dikelas
sendirian!! Dasar kakak gak bertanggung jawab!!” sungut Alma pada Afanin, dan
hanya dibalas cengiran tak jelas dari Afanin. “ Abi mana yah ma, biasanya kan
selalu jemput sebelum kita pulang..” Ujar Afanin. “ Mana aku tahu..” Seketika
Alma terkejut saat pundaknya ditepuk oleh seseorang, ia menolehkan kepalanya
dan mendapati makhluk asing yang baru saja ia kenal beberapa jam yang lalu.
Rais. Rais melemparkan senyum tak enak, tangannya menggenggam hp. Dengan ragu,
Rais menempelkan hp tersebut ketelinganya. “ Ya paman, sepertinya aku sudah
tau.” “ Ahya, baik paman. Ya, Assalamualaikum.” Alma melongo tak karuan karena
melihat tingkah aneh Rais, Afanin tak kalah cengo. “ Mungkin dia sedikit
terganggu..” bisik Afanin. “Tidak, lebih tepatnya ia gila !!” seru Alma kencang
membuat Afanin harus membungkam mulutnya agar Rais tak salah tanggap. Dasar
bodoh. Hardik Afanin pada adiknya tersebut. “Ah, maaf.. aku boleh bertanya?
Yang namanya Alma yang mana yahh?..” Tanya Rais, tanpa melihat situasi yang
kurang menguntungkan untuknya. Sejurus kemudian, Alma menggigit tangan Afanin.
Afanin berteriak kesakitan karena ulah Alma. Sedangkan Alma, terlihat acuh. “
Ya! Aku Alma, ada apa yahh?” desak Alma sambil mengacak pinggang nya. Muslimah
yang tomboy, begitu ia dijuluki. Ahh, Alma bukan tomboy, hanya sentiment
terhadap semua lelaki, kecuali abi nya sendiri. Ckck. “ Tadi, paman Hamid
menelfon ku, untuk mengantar mu pulang.. katanya, kamu punya kakak juga kan
yang sekolah disini? Sekalian dehh.. biar aku antar” Ucap Rais tak beraturan,
Alma mengerutkan keningnya. “Memangnya kamu siapa nya abi?” Afanin akhirnya
angkat bicara, dengan wajah polosnya. “Panjang.. nanti saja ku jelaskan. Ohya,
abi? Kamu juga anaknya paman Hamid? Kalau begitu sudah lengkap. Mari ku antar
pulang.” Wajah Rais terlihat berseri-seri. Ia mengajak Afanin dan Alma untuk
masuk kedalam mobilnya yang masih terparkir rapi di tempat parkir sekolah.
Kakak-beradik tersebut membuntut tanpa banyak suara mengikuti langkah lebar
milik Rais. Alma dengan cepat mendorong kakanya kedalam pintu mobil yang telah
dibuka oleh Rais, dan segera membuka pintu belakang mobil dan masuk kedalamnya.
Jadi ia tidak perlu duduk berdampingan dengan lelaki yang baru ia kenal.
Mungkin takut di apa-apakan. Sepertinya. Disepanjang perjalan, mereka bertiga
hanya terdiam. Sama-sama merasa canggung untuk memulai percakapan. Hanya suara
serak dari Ruki The Gazette yang menyanyikan lagu Cassis terdengar samar
mengalun di radio. Sesekali Rais mencuri-curi pandang kesamping kirinya. Ia
sama sekali tak focus menyetir, karena gadis cantik disamping nya. Hatinya
berdesir hebat. “ Cuacanya cerah yahh..” Kata Rais, mencoba memecah gelembung
keheningan yang tercipta. “ Hmm.. lumayan” Dijawab singkat oleh Afanin. “
Basii..” celetuk Alma, menambah kecanggungan di hati Rais. Dasar songong. Rais
tak mau berputus asa, ia tak mau jarak mereka bertiga lebih jauh lagi.
Memberikan ruang yang luas diantaranya. Sekali lagi. Teguh Rais. “ Waktu kecil,
aku pernah tinggal bersama abi dan umi mu..” Ujar Rais, mengawali kembali.
Afanin tertarik untuk membalasnya. Tapi kalah cepat dengan Alma. “ Ohya, aku
gak pernah tau kalo ada orang lain yang pernah tinggal serumah denganku..”
ketus Alma. (Gue gak ngomong sama loe!!) kesal Rais dalam hati. Kepada gadis
yang kurang di hajar tersebut. Alma. “Hmm.. mungkin karena kita dulu sama-sama
masihh keciil..” Rais memaksakan senyum diwajahnya, senyum yang pahit. “Jadi,
bagaimana kau bisa tau kalau dulu kau pernah tinggal bersama kami.. kau masih
kecilkan?” Ledek Alma sengit. Afanin seketika menoleh kebelakang, memelototi
Alma yang berbicara tak kenal etika. Dan berniat mengalihkan pembicaraan. Tapi
Rais tak mau kalah, ia berniat membalas ucapan Alma dengan yang lebih pedas
lagi. “ia.. tapi ingatan ku sangat kuat, aku dapat mengingat semuanya dengan
jelas bahkan nanti sampai aku tua sekali pun, kalau kau sudah pasti tidak
mengingatnya.. karena aku tau ingatanmu pasti terbatas sekali Alma.. kau bisa
tanyakan pada Afanin apakah dia masih mengingat ku?!” Rais melirik kearah
Afanin yang duduk disamping nya, Afanin terdiam kaku ia bingung harus membalas
bagaimana. Tapi ia sempat berpikir, sepertinya apa yang dikatakan Rais pastilah
benar, karena ada keseriusan didalam nada bicaranya. Afanin memutuskan
menganggukkan kepala untuk meyakinkan ucapan Rais. Alma terdiam sesaat.dan
melemparkan senyum sinis pada Rais. “ia hanya terpaksa mengangguk karena tak
tau apa yang harus ia perbuat..” Ujar Alma pelan tapi menusuk pendengaran kedua
insan yang ada didepannya. Seketika suasana hening. Rais sudah meluap-luap
amarahnya, andai ia lupa bahwa Alma adalah perempuan, mungkin ia sudah
mendaratkan pukulan telak diwajah mulusnya itu karena terlalu kesal dibuatnya.
Dengus nafas Rais tak bisa ia sembunyikan, ia benar-benar marah. Sekilas ia
melirik Afanin disamping nya. Hatinya langsung sejuk setelahnya. Untung saja
ada bidadari disampingnya, pikir Rais. Namun sepertinya Afanin terlihat takut,
ia tertunduk diam membisu. Rais menarik nafasnya dalam-dalam. “sudah sampai…”
Alma secepat mungkin menyambar gagang pintu dan segera keluar dari dalam mobil,
sedangkan Afanin dengan anggun membuka pintunya secara pelan dan hati-hati lain
dengan Alma yang gegabah. Rais sama sekali tak berniat membukakan pintu untuk
Afanin, ia tak mau dibilang terlalu lebay, dan memperlakukan nya seperti
seorang putri dengan babunya. Payah sekali. Didalam Rumah mereka sudah di
sambut oleh Umi dan Abi yang tersnyum manis. Sayangnya, senyuman tulus tersebut
hanya ditanggapi dengan senyum kecut Alma dan Rais.. Afanin mengucap salam
sembari mencium punggung tangan orang tuanya satu persatu, diikuti Alma dan
Rais dibelakangnya. ‘’Ada apa ini? Kok pada cemberut?’’ Selidik umi penasaran.
Alma mendelik kesal pada Rais, dan berlalu masuk kedalam kamarnya. Abi
tercengang melihat tingkah Alma yang tak sopan terhadap Rais. Afanin, Rais,
beserta Umi dan Abi berkumpul diruang tamu bercengkrama sembari megobrol ringan
tentang segala hal. Alma tak terlihat disana, sejak pulang sekolah tadi ia memutuskan
untuk tetap diam dikamar menghabiskan waktu dengan novel-novel miliknya. Ia
malas bertemu Rais, ada perasaan ‘tak suka’ karena adanya Rais dirumahnya.
Author : Ana Helmina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar