Sabtu, 04 Juni 2016

Gemuruh Senja

 CHAPTER I
Tiap-tiap paginya tak pernah sepi dengan alunan ayat-ayat suci al-Qur’an dari dalam mulutnya tanpa lelah ia lagu kan, merdu suaranya, panjang nafas nya menghiruf udara dan melepaskan nya sebagai syair-syair yang menggetarkan jiwa bagi yang mendengarnya. Matahari bersinar terang membuatnya menghentikan rutinitas mengajinya. Diakhirinya dengan membaca “Sadaqallah hul’azim”. Ditutupnya Al-Qur’an dan menaruhnya diatas meja belajar. Handuk biru melilit dileher nya, ia masuk kedalam kamar mandi. Dengan begitu, hari ini akan ia mulai dan jalani sebaik mungkin. Afanin Huriyah Huwaida. Nama yang benar-benar pantas disandang gadis yang baru saja masuk kamar mandi itu. Wajahnya benar cantik seperti bidadari dari syurga Janatun naim . tutur bahasanya lembut bagaikan daun yang jatuh tertiup angin. Sopan, bersahaja. Tak kalah sempurna dengan gadis didalam kamar mandi, Almasah Basimah. Gadis yang sedang duduk manis dikursi ruang makan. Kerudung putihnya menambah cantik wajah Alma. Umy dan Abi nya duduk mendampingi. Makanan tertata rapi diatas meja bertaplak hijau muda itu. Tak banyak makanan yang tersedia tapi cukup membuat orang menelan ludah melihat menu makanan yang menggiurkan tersebut. “Alma, kakak mu belum selesai bersiap?” “mungkin sebentar lagi umi …” Seorang gadis mengenakan kerudung putih yang sama dengan Alma berjalan menuju ruang makan. Dia Afanin. Kelas sudah mulai ramai ditambah lagi pengumuman akan ada nya murid baru pindahan dari sekolah ternama yang terletak di Bandung. Para gadis-gadis sibuk membicarakan siapa murid pindahan itu? Pria ataukah seorang gadis seperti mereka? Entah lah. Yang jelas, keributan dikelas sama sekali tak mengganggu konsentrasi Alma dan Afanin untuk menghapal rumus-rumus fisika yang akan diajarkan hari ini oleh guru fisika mereka. Tak salahkan mencari tahu sesuatu sebelum diberitahu orang lain? Begitu kata Afanin dan Alma jika ada orang yang bertanya perihal kerajinan mereka menghapal rumus-rumus fisika yang bahkan belum diajarkan atau pun dijelaskan oleh guru mereka. Pelajaran ke-1 dan 2 sudah berlalu dan berjalan dengan lancar, mungkin hanya untuk pasangan kakak-beradik Afanin dan Alma saja. Tidak untuk yang lain nya. Mereka lebih memikirkan murid baru yang sampai sekarang tak muncul-muncul juga menambah rasa penasaran mereka. ‘’Alma, memang murid baru itu sehebat apa? Sampai-sampai satu kelas ribut karenanya…” Afanin melirik kearah Alma yang sibuk komat kamit tak jelas. Seketika Alma terkikik mendengar ucapan Afanin dan membuat Afanin heran. ‘’Yang aku tahu, murid baru itu adalah seorang pria tampan yang menjadi idola disekolahnya dulu…” “Tak salah aku bertanya denganmu Alma, ternyata kau memang bisa menebak apa saja ya?” Ucap Afanin mencoba menyinggung Alma, namun sebaliknya. Alma malah terlihat bangga dengan ucapan sok tau nya itu. Percakapan Afanin dan Alma terhenti ketika tiba-tiba saja Pak Anwar membawa masuk seorang siswa berseragam sama seperti mereka berdua. Pria itu tampan, wajah nya manis ditambah lesung pipi dipipi kirinya. Kelas hening sesaat, terpesona melihat pemandangan yang ada didepan kelas. Kemudian ribut kembali dengan suara-suara cempreng milik gadis-gadis yang mencoba mencari perhatian pada pria tampan didepan mereka. ‘’Nah, anak-anak. Ini lah siswa baru yang bapak katakan kemarin. Ia akan bergabung dikelas ini. bersahabatlah dengan nya.” Pak Anwar menepuk-nepuk pundak pria tampan itu. ‘’Haii, saya Burhan Rais Rabbani. Kalian bisa memanggil saya Rais. Terima kasih…” Pria itu tersenyum lembut mengakhiri perkenalannya. Gadis-gadis dikelas berteriak histeris membuat Rais kebingungan. ‘’mereka memang seperti itu, nanti juga pasti terbiasa…” Bisik pak Anwar pada Rais, Rais hanya mengangguk ragu. Tak yakin bahwa situasi ini akan segera normal kembali. ‘’Nah, Rais. Kamu boleh duduk disamping Afanin. dan Alma, Kamu bisa pindah duduk disamping Zazkyra…” ‘’loh pah? Kenapa bukan Rais aja yang duduk disamping saya?’’ Protes Zazkyra. “iya pak, saya juga gak mau pindah duduk sama si Zazkyra yang centill itu…” Alma melirik sinis kearah Zazkyra. Afanin menyenggol lengan Alma agar tidak membuat keributan dikelas. Sedangkan Zazkyra menahan amarah nya karena takut dikeluarkan dari kelas lagi oleh pak Anwar. Akhirnya keputusan pak Anwar sama sekali tidak bisa diganggu gugat. Rais duduk disamping Afanin. Dan Alma harus rela duduk berdampingan dengan Zazkyra, musuh besarnya. ‘’Rais…’’ Rais mengulurkan tangan kearah Afanin, Afanin membalas juluran tangan Rais. “Afanin Huriyah Huwaida, panggil Afanin saja…’’ Afanin berbicara lembut diiringi dengan senyuman diwajahnya. Rais terpaku menatap wajah Afanin. Inilah bidadari satu-satu nya yang ada di bumi. Pikir Rais. Jantung Rais berdebar kencang beradu dengan suara riuh didalam kelas, Afanin benar-benar telah membuatnya menahan nafas dan menyebut Asma Allah ketika melihat senyum makhluk cantik seperti dirinya. Tapi, Afanin terlihat tak peduli seakan tak menyadari pengaruh dirinya pada lelaki berwajah tampan nan manis dihadapannya. Tepat pada pukul 2 siang, Bel pertanda pulang sekolah telah berbunyi nyaring menggema disetiap sudut sekolah, membuat murid-murid berseru gembira. Menandakan mereka akan dapat mengisi ulang kinerja otak mereka yang mulai panas karena dipakai berpikir selama seharian. Sifat dasar anak sekolahan. Keluar kelas pun masih saling dorong. Payah sekali. Ledek Afanin dalam hati. Alma, masih sibuk menjejalkan buku pelajaran ke dalam ransel dengan cara tak beraturan. Sedangkan kelas sudah mulai sepi, hanya tinggal ia seorang. Afanin telah lebih awal keluar kelas. Setelah semua buku telah mengisi ransel milik Alma, tanpa ba-bi-bu Alma bergegas berjalan keluar kelas, dan mencari sosok Afanin. Terlihat Afanin tengah berdiri didepan gerbang sekolah sembari melirik arloji yang melekat ditangan kirinya. “ Hehh!! Tega sekali meninggalkanku dikelas sendirian!! Dasar kakak gak bertanggung jawab!!” sungut Alma pada Afanin, dan hanya dibalas cengiran tak jelas dari Afanin. “ Abi mana yah ma, biasanya kan selalu jemput sebelum kita pulang..” Ujar Afanin. “ Mana aku tahu..” Seketika Alma terkejut saat pundaknya ditepuk oleh seseorang, ia menolehkan kepalanya dan mendapati makhluk asing yang baru saja ia kenal beberapa jam yang lalu. Rais. Rais melemparkan senyum tak enak, tangannya menggenggam hp. Dengan ragu, Rais menempelkan hp tersebut ketelinganya. “ Ya paman, sepertinya aku sudah tau.” “ Ahya, baik paman. Ya, Assalamualaikum.” Alma melongo tak karuan karena melihat tingkah aneh Rais, Afanin tak kalah cengo. “ Mungkin dia sedikit terganggu..” bisik Afanin. “Tidak, lebih tepatnya ia gila !!” seru Alma kencang membuat Afanin harus membungkam mulutnya agar Rais tak salah tanggap. Dasar bodoh. Hardik Afanin pada adiknya tersebut. “Ah, maaf.. aku boleh bertanya? Yang namanya Alma yang mana yahh?..” Tanya Rais, tanpa melihat situasi yang kurang menguntungkan untuknya. Sejurus kemudian, Alma menggigit tangan Afanin. Afanin berteriak kesakitan karena ulah Alma. Sedangkan Alma, terlihat acuh. “ Ya! Aku Alma, ada apa yahh?” desak Alma sambil mengacak pinggang nya. Muslimah yang tomboy, begitu ia dijuluki. Ahh, Alma bukan tomboy, hanya sentiment terhadap semua lelaki, kecuali abi nya sendiri. Ckck. “ Tadi, paman Hamid menelfon ku, untuk mengantar mu pulang.. katanya, kamu punya kakak juga kan yang sekolah disini? Sekalian dehh.. biar aku antar” Ucap Rais tak beraturan, Alma mengerutkan keningnya. “Memangnya kamu siapa nya abi?” Afanin akhirnya angkat bicara, dengan wajah polosnya. “Panjang.. nanti saja ku jelaskan. Ohya, abi? Kamu juga anaknya paman Hamid? Kalau begitu sudah lengkap. Mari ku antar pulang.” Wajah Rais terlihat berseri-seri. Ia mengajak Afanin dan Alma untuk masuk kedalam mobilnya yang masih terparkir rapi di tempat parkir sekolah. Kakak-beradik tersebut membuntut tanpa banyak suara mengikuti langkah lebar milik Rais. Alma dengan cepat mendorong kakanya kedalam pintu mobil yang telah dibuka oleh Rais, dan segera membuka pintu belakang mobil dan masuk kedalamnya. Jadi ia tidak perlu duduk berdampingan dengan lelaki yang baru ia kenal. Mungkin takut di apa-apakan. Sepertinya. Disepanjang perjalan, mereka bertiga hanya terdiam. Sama-sama merasa canggung untuk memulai percakapan. Hanya suara serak dari Ruki The Gazette yang menyanyikan lagu Cassis terdengar samar mengalun di radio. Sesekali Rais mencuri-curi pandang kesamping kirinya. Ia sama sekali tak focus menyetir, karena gadis cantik disamping nya. Hatinya berdesir hebat. “ Cuacanya cerah yahh..” Kata Rais, mencoba memecah gelembung keheningan yang tercipta. “ Hmm.. lumayan” Dijawab singkat oleh Afanin. “ Basii..” celetuk Alma, menambah kecanggungan di hati Rais. Dasar songong. Rais tak mau berputus asa, ia tak mau jarak mereka bertiga lebih jauh lagi. Memberikan ruang yang luas diantaranya. Sekali lagi. Teguh Rais. “ Waktu kecil, aku pernah tinggal bersama abi dan umi mu..” Ujar Rais, mengawali kembali. Afanin tertarik untuk membalasnya. Tapi kalah cepat dengan Alma. “ Ohya, aku gak pernah tau kalo ada orang lain yang pernah tinggal serumah denganku..” ketus Alma. (Gue gak ngomong sama loe!!) kesal Rais dalam hati. Kepada gadis yang kurang di hajar tersebut. Alma. “Hmm.. mungkin karena kita dulu sama-sama masihh keciil..” Rais memaksakan senyum diwajahnya, senyum yang pahit. “Jadi, bagaimana kau bisa tau kalau dulu kau pernah tinggal bersama kami.. kau masih kecilkan?” Ledek Alma sengit. Afanin seketika menoleh kebelakang, memelototi Alma yang berbicara tak kenal etika. Dan berniat mengalihkan pembicaraan. Tapi Rais tak mau kalah, ia berniat membalas ucapan Alma dengan yang lebih pedas lagi. “ia.. tapi ingatan ku sangat kuat, aku dapat mengingat semuanya dengan jelas bahkan nanti sampai aku tua sekali pun, kalau kau sudah pasti tidak mengingatnya.. karena aku tau ingatanmu pasti terbatas sekali Alma.. kau bisa tanyakan pada Afanin apakah dia masih mengingat ku?!” Rais melirik kearah Afanin yang duduk disamping nya, Afanin terdiam kaku ia bingung harus membalas bagaimana. Tapi ia sempat berpikir, sepertinya apa yang dikatakan Rais pastilah benar, karena ada keseriusan didalam nada bicaranya. Afanin memutuskan menganggukkan kepala untuk meyakinkan ucapan Rais. Alma terdiam sesaat.dan melemparkan senyum sinis pada Rais. “ia hanya terpaksa mengangguk karena tak tau apa yang harus ia perbuat..” Ujar Alma pelan tapi menusuk pendengaran kedua insan yang ada didepannya. Seketika suasana hening. Rais sudah meluap-luap amarahnya, andai ia lupa bahwa Alma adalah perempuan, mungkin ia sudah mendaratkan pukulan telak diwajah mulusnya itu karena terlalu kesal dibuatnya. Dengus nafas Rais tak bisa ia sembunyikan, ia benar-benar marah. Sekilas ia melirik Afanin disamping nya. Hatinya langsung sejuk setelahnya. Untung saja ada bidadari disampingnya, pikir Rais. Namun sepertinya Afanin terlihat takut, ia tertunduk diam membisu. Rais menarik nafasnya dalam-dalam. “sudah sampai…” Alma secepat mungkin menyambar gagang pintu dan segera keluar dari dalam mobil, sedangkan Afanin dengan anggun membuka pintunya secara pelan dan hati-hati lain dengan Alma yang gegabah. Rais sama sekali tak berniat membukakan pintu untuk Afanin, ia tak mau dibilang terlalu lebay, dan memperlakukan nya seperti seorang putri dengan babunya. Payah sekali. Didalam Rumah mereka sudah di sambut oleh Umi dan Abi yang tersnyum manis. Sayangnya, senyuman tulus tersebut hanya ditanggapi dengan senyum kecut Alma dan Rais.. Afanin mengucap salam sembari mencium punggung tangan orang tuanya satu persatu, diikuti Alma dan Rais dibelakangnya. ‘’Ada apa ini? Kok pada cemberut?’’ Selidik umi penasaran. Alma mendelik kesal pada Rais, dan berlalu masuk kedalam kamarnya. Abi tercengang melihat tingkah Alma yang tak sopan terhadap Rais. Afanin, Rais, beserta Umi dan Abi berkumpul diruang tamu bercengkrama sembari megobrol ringan tentang segala hal. Alma tak terlihat disana, sejak pulang sekolah tadi ia memutuskan untuk tetap diam dikamar menghabiskan waktu dengan novel-novel miliknya. Ia malas bertemu Rais, ada perasaan ‘tak suka’ karena adanya Rais dirumahnya.
 
Author : Ana Helmina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar